Aku sempatkan
sore itu, keliling jalan diseputar kota jogja.
Sejenak untuk melepas lelah, seharian menguras peluh keringat hanya
untuk sesuap nasi. Beberapa jalan kulalui, hingga akhirnya, mataku tertuju pada
sebuah obyek yang tersentak membangunkan imaginasiku yang sempat terlena dengan
keelokan kota kelahiranku, yogyakarta. Saat berhenti, di sebuah trafic light,
tepatnya di perempatan jalan ringroad timur, tepat dihadapanku, seorang ibu,
masih muda dan segar, dengan berkerudung selendang gendong anaknya, sambil memukul kenong, salah
satu elemen musik dalam gamelan.
Dibawah terik sinar mentari yang akan pulang ke peraduannya, ibu itu dengan asiknya melakoni pekerjaannya, yang mengundang banyak cibiran, mungkin. Diseberang jalan, anaknya mengitari para pengendara bermotor yang berhenti menunggu lampu hijau segera bangun, sambil mengulurkan tangannya, membawa sebuah wadah yang terbuat dari belahan botol plastik bekas.
Dibawah terik sinar mentari yang akan pulang ke peraduannya, ibu itu dengan asiknya melakoni pekerjaannya, yang mengundang banyak cibiran, mungkin. Diseberang jalan, anaknya mengitari para pengendara bermotor yang berhenti menunggu lampu hijau segera bangun, sambil mengulurkan tangannya, membawa sebuah wadah yang terbuat dari belahan botol plastik bekas.
Terkesima
aku dibuatnya, detak jantung mulai berdegup lemah, aliran darah seolah
berhenti, sekujur tubuhku kaku, telapak tangaku dingin dan air mata mulai
menggenang. Aku seolah mendengar jerit tangis suara seorang ibu yang berusaha
mengais rizki bersama buah hati tercintanya dengan cara yang hina sekalipun
hanya untuk menyambung nyawa. Tak henti hentinya aku menggumam dalam hati,
seolah tak percaya dengan apa yang yang kulihat saat ini.
Yogyakarta...
banyak orang menyebutnya kota pelajar dan terpandang, dimana rakyatnya penuh
dengan kesantunan dan berpendidikan, harusnya hal ini bisa menjadikan
perekonomian stabil dan merata. Namun kenyataannya tidak seperti demikian itu,
masih juga ditemukan kesenjangan sosial. Sempat aku berfikir, apa yang
difikirkan ibu itu hingga mencari celah untuk mencukupi ekonominya dengan cara
yang seperti itu, padahal kalau aku lihat dia mempunyai fisik yang segar dan
kuat, andaikan dia mau, akan lebih baik dan mulia menjadi tenaga bantu dalam
sebuah rumah tangga. Akh..itu hanya anganku saja, aku hanya berfikir dari
sisiku saja, tanpa mempertimbangkan ada apa sebenarnya dengan ibu itu.
Ataukah,
tidak ada orang yang mau menyelamatkannya, dengan memberikan mata pencaharian
yang layak. Pertanyaan pertanyaan itu terus mengiang di telingaku, memikirkan
hal itu. Sempat protes dalam hati, dimana keunikan kota jogja, jika banyak
hiasan yang mengharu biru di setiap sudut kota. Tangan ini terasa gatal, hati
semakin gemas, namun apa daya kondisiku belum kuat menopang bebannya. Jadi aku
hanya bisa tertegun dan berfikir, berharap kelak situasinya akan berubah
menjadi lebih baik dari saat ini. Ingin rasanya bertemu dan bergabung dengan
badan organisasi yang mau menampung orang orang yang belum mendapatkan
pekerjaan yang layak, dan memberikan jalan keluar dengan membuka lapangan
pekerjaan dan merubah pola pikir mereka untuk bangkit dari keterpurukan.
Apabila
hal tersebut terjadi, setiap orang mendapatkan mata pencaharian yang layak,
penghasilan yang layak, maka kotaku tidak hanya indah tampak mata, namun
duniapun akan tersenyum melihat betapa indahnya berbagi dalam kebersamaan.
Uluran tangan tulus kita, akan sangat membantu mereka, membuat mereka bahagia,
mendapatkan hidup yang selayaknya, dan tertawa puas melihat anak turun mereka
berhasil dalam mencapai cinta dan cita.
Wahai
saudaraku serumpun, mari kita berdoa bersama mewujudkan kota kita tercinta,
Yogyakarta, menjadi kota yang damai dan berhasil memakmurkan rakyat
disekitarnya. Saling berbagi dalam suka dan duka, tak ada lagi kesenjangan
menyelimutinya. Semoga kita semua selalu hidup dalam berkahNya yang melimpah. Amin ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar